“Tears stream down on your face, when you lose something you cannot replace. Tears stream down on your face. And I, promise you I will learn from my mistakes. And I, will try to fix you.” —Coldplay, Fix You
I'm
at mid-October now, September was already long over.
Aku kesepian. Ya, kurasa cuma itu alasan yang
bisa menjelaskan kenapa belakangan aku menjadi sinis terhadap kebahagiaan orang
lain. Kenapa aku bisa begitu anti terhadap berbagai macam keramaian. Aku terus
menerus menyalahkan diri sendiri. Kenapa seolah cuma aku yang harus melewati
kehidupan—yang kurasa mendadak—monoton ini.
Kemudian aku sadar bahwa hidupku berbeda sejak aku kehilangan seseorang. Karena
jauh sebelumnya, ketika musim panas dimulai, someone broke me, setelah
aku memutuskan untuk mencintai dia saja. Dia adalah laki-laki sederhana dengan
hati baik—yang awalnya tulus itu—mencoba untuk selalu ada untukku.
It's
complicated. Dulu kami hanya teman biasa sampai hari itu. Sebuah hari libur
di pertengahan bulan April yang mendung. Kami menghabiskan pagi di yang
membosankan di ruang tamu rumahnya, dia dengan gitarnya dan aku asyik dengan
duniaku sendiri, menyanyi sumbang lirik lagu-lagu akustik yang kuputar di
ponselku sambil bermain game. Aku pura-pura tidak tahu bahwa dia
memperhatikanku. Lalu dia tertawa dan meletakkan gitarnya, meraihku untuk
mendekat, melihat jauh ke dalam mataku dan berkata “Let me be your only reason
to smile from now” . Dia mungkin tidak tahan bahwa selama itu dia hanya menjadi
tempat curhatku ketika aku bersedih saat proses melupakan mantanku sebelumnya.
Aku masih ingat bagaimana dia selalu ada saat aku butuh telinga. Bahwa dia
selalu membuatku tersenyum dan membuat semuanya ringan kembali. Aku fikir aku
mulai menyukainya dan bisa menjalani hubungan yang dia minta pelan-pelan. Lalu
ragu-ragu aku tersenyum dan hanya dengan satu kata “Okay”. OK. O-K. Sip.
Baiklah. Dia menganggap itu kata afirmatif, tanda persetujuan, tanda siap
memulai hubungan. Just simple word. But at the moment, it's more than enough.
Hari itu ulang
tahunku. Aku melewati waktu itu bersamanya, dengan makan malam sederhana di
tengah kota. Dia memberiku hadiah, dua buah boneka, satu beruang, satu singa.
Entah kenapa, saat itu aku merasa nothing special, bahkan kehadirannya
di sisiku pun masih belum cukup. Aku menjadi seorang pendiam di hari yang
seharusnya kulewati dengan meletup-letup. Ada rasa yang menggangguku sejak awal
aku dan dia memulai hubungan. Aku merasa merindukan tahun lalu. Saat aku
melewatkan ulang tahun dengan rasa bahagia yang luar biasa dengan
mantanku sebelumnya. Bagaimana semuanya tidak terasa datar dan seadanya. Lalu
hatiku mulai membanding-bandingkan, bahwa dia tak akan pernah bisa seperti
mantanku, Waktu itu dia bingung dengan sikapku, saat tiba-tiba air menetes
bergantian memenuhi pelupuk mataku. Dia bertanya aku mengapa dan apa salahnya,
dan aku tak bisa apa-apa selain menggeleng dan berkata kepadanya bahwa aku tak
apa. Suasana menjadi kaku lalu tiba-tiba aku ingin pulang. Biasanya saat kami
di jalan menuju kemanapun, ada saatnya dia memelankan motornya dan aku yang di
belakanganya akan cerewet mengomentari apapun yang kami temui di sepanjang
jalan, lalu dia menanggapinya dengan tawa dan kami bercanda tak henti-hentinya
sampai tiba di tempat tujuan. Namun perjalanan kali itu terasa lebih lama, dia
ngebut penuh emosi dengan motornya dan kami berdua diam sepanjang jalan pulang.
Aku bertanya-tanya apakah keputusanku untuk menerimanya saat itu sudah
tepat? Apakah benar dia orangnya? Apakah benar aku mencintainya? Aku masih
ingat saat akhirnya kami tiba di depan rumahku, aku turun dari motornya dan dia
masih enggan pulang. Dia di atas motornya menatapku dengan sorot mata takut
kehilangan dan meminta aku jangan pergi. Saat itulah juga aku sadar bahwa dia
sangat mencintaiku. Aku memeluknya dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja.
Dalam hati, aku berjanji akan mencoba mencintainya lebih keras lagi.
Walaupun kami
lebih baik, tapi kami tak pernah benar-benar baik-baik saja setelah itu.
Kehidupan kami saat itu diwarnai dengan pertengkaran-pertengkaran kecil tentang
musik apa yang menurut kami lebih bagus. Kami akan menertawakan candaan konyol
yang sebenarnya nggak lucu-lucu amat, mencela-cela musik elektronika,
mengomentari satu sama lain, berdebat tentang banyaj hal, dan tidak akan mundur
sampai salah satunya mengalah. Kami pergi ke banyak tempat indah berdua,
berangkat-pulang sekolah berdua, menonton film sampai larut malam berdua, and
we share stupid things together. Kami mengatakan hal-hal yang benar dan
hal-hal yang salah. Kami saling mendukung, saling menyakiti, dan saling
menyalahkan. Itulah hubungan nyaris sempurna yang kami miliki saat itu.
Seringkali saat aku PMS dan kesabarannya sedang berada pada level rendah,
karena masalah sepele kami akan bertengkar hebat, saling mencela,
membanding-bandingkan dan memutar fakta lalu diam beberapa hari sampai akhirnya
berujung pada dia meminta maaf dan sorot mata takut kehilangan yang sama. But,
he always find a reason to fight for me. For some reason, we stay. I stay.
Pada sebuah hubungan akan selalu ada pihak yang mencintai lebih besar dan meminta lebih banyak. Kadang aku merasa dalam hubunganku dan dia, orang itu adalah dia. Dulu, dia selalu memberi apapun tanpa aku perlu meminta namun dia yang selalu sering mengeluh tentang sikapku. Pernah sekali dia kelewat posesif hingga aku merasa risih dan aku memarahinya. Sejak saat itu dia membebaskanku, namun kenyataannya aku yang terlalu sering mengikis kepercayaan yang dia berikan dan terlalu sering mengecewakannya. Aku tetap saja tak peduli, mengabaikannya dan bertindak semauku. Namun dalam keadaan apapun, dia tak pernah berhenti selalu ada untukku. Aku tidak dapat melupakan bagaimana dia duduk diam di kursi teras rumahku dengan sorot mata lelah dan terluka. Because of me. Sekarang saat aku menyesali semua sikapku kepadanya dulu, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri karena itu.
Waktu itu, kami
masih terus menjalani hubungan walaupun dengan berat. Dia masih
memperjuangkanku dengan sisa-sia harapan bahwa aku adalah masa depan untuknya,
tetapi aku terus mengingkari kata hatiku sendiri dengan sisa-sisa keyakinanku
bahwa sebenarnya aku tidak mencintainya. Sampai akhirnya aku menyerah dan
mencampakkannya begitu saja dengan laki-laki lain yang baru kukenal. Aku melakukannya
karena aku bosan dan semakin lelah karena aku sendiri tidak tahu harus
bagaimana dan memilih apa, bukan karena aku mencintai orang baru itu. Dan dia,
walaupun sudah terluka terlalu banyak tetap memintaku untuk bertahan. Aku
menjelaskan padanya bahwa aku tak pernah pantas untuk cintanya, bahwa aku bukan
orang yang tepat yang bisa membuatnya bahagia. Dan betapa busuknya aku berani
mengatakan bahwa selama ini kita bukan apa-apa dan aku tidak mencintainya. Aku
tahu seberapa remuknya ia saat membantah, he said whatever who i'm, whatever
I do, he won't replace me. He loved me, and will always loving me.
Dia butuh beberapa hari untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya sudah
berakhir, berpura-pura semuanya tidak pernah terjadi, lalu mengatakannya sendiri
di depanku dengan senyum samar “Thanks for all, ternyata cinta tak cukup
dengan setia. Kapanpun kamu butuh aku, just say it and I will come,”
hatiku serasa ikut remuk mendengarnya namun aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku hanya membiarkan dia pergi menjauh. He's never know that I said leave,
but he is everythings all I want.
Dia tidak tahu
kalau hari-hari berikutnya hidupku hanya berisi penyesalan. Dia tidak tau
seberapa banyak aku terluka ketika kami putus, dia fikir hanya dia yang
menanggung itu. Tentang orang baru itu, ternyata tak lebih baik darinya. Aku
tak lebih bahagia dan menerimanya tak mengubah apa-apa. Jadilah aku menyakiti
lebih banyak hati lagi. Sejak itulah aku merasa benar-benar sendiri. Aku
sejenak terkalahkan oleh rasa sakit dan tidak memiliki pertahanan untuk
melindungi diri. I miss him. I miss us.
Tak hampir sebulan
berlalu ia datang dan menawarkan menjadi temanku. Aku takut meminta lebih,
takut memintanya untuk kembali dan memastikannya tak pergi lagi, takut bahwa
dia belum memaafkanku. Namun dia menemaniku tanpa suara dan aku sungguh bersyukur dan
menikmati setiap kehadiran, aku kembali melakukan semua hal berdua dengannya.
Tapi semuanya terasa sangat berbeda. Kadang-kadang ia duduk di sampingku, namun aku merasa ia tak
ada di sana. Dia bahkan menolak untuk kusentuh. Tak kutemukan lagi sisa-sisa
dia yang dulu. Tak ada lagi tawa yang sama dan aku tak seberharga dulu lagi di
matanya. Aku dan dia, hanyalah masa lalu yang dingin yang tak lagi bisa
bersatu. Selama beberapa malam, aku menangisi hal yang sama. Tentang cinta yang
datang terlambat. Tentang bagaimana aku tak sempat membahagiakannya dengan baik.
Harapan-harapan ini tak cukup kuat untuk melawan kenyataan.
Sampai akhirnya
luka ini semakin perih saat aku mendengar dari salah satu temanku bahwa dia
terlihat berdua dengan perempuan lain. Aku menanyakannya langsung kepadanya
kalau perempuan itu siapa, aku hanya ingin memastikan. Dia menjawab dengan
tegas bahwa perempuan itu kekasihnya. Kekasihnya.
Dulu, akulah yang diakui seperti itu kepada dunia. Aku ingin memastikan sekali
lagi kenyataan buruk ini. Kuminta ia melihat mataku dan berkata bahwa dia sudah
tak mencintaiku lagi. Aku tak ingin dia mengasihaniku. Jadilah ia berkata
dengan sorot mata meminta maaf . Aku takut mendengar jawabannya. “I can’t,
Bil. I can’t hurt you. Tetapi aku lebih tak bisa lagi jika menyakitinya. I love
her. Sorry” Dia bahkan mengucapkannya dengan mudah. Air mata sudah
menggenang di pelupuk mataku. Kuberi dia senyum termanis dan yang terpahit aku
mengatakan seolah semudah itu juga aku mengikhlaskannya “It’s Okay”. I said. Dan dengan sisa kekuatanku aku beranjak pergi,
aku bahkan tak menoleh saat dia memanggil namaku. Dia tak mengejarku. We never met again since. I really losing
him.
Aku fikir aku
adalah orang yang cukup pintar untuk menentukan kapan untuk mencintai seseorang dan kapan waktunya mematikan rasa
itu saat sudah tak diperlukan lagi. Tidak ada cerita happy ending. Seharusnya aku sudah tahu, bahwa dia memang sudah berubah. Hanya saja
aku sulit merelakan. Sulit memberi tahu diri sendiri bahwa semua orang
bisa berubah dan mau tidak mau aku harus menerimanya. Namun, yang
menyakitkan ternyata bukan kenyataan bahwa aku harus melepaskan dia,
tetapi mendengar dari mulutnya sendiri bahwa sebenarnya kami berdua
bukan apa-apa. Dia sudah lama berhenti mencintaiku, sedangkan aku menyayanginya seperti tidak akan berakhir. Beribu pertanyaan memenuhi kepalaku. Satu yang aku tahu, mungkin aku memang tidak perlu tahu jawaban untuk setiap pertanyaan. Mungkin semua ini memang seharusnya begitu. You can meet someone who's just right, but he might not be meant for you. You break up, you lose things, you never feel the same again. But maybe you should stop questioning why. Maybe you should just accept it and move on. But, no one woke me up when September ends.
I'm
affraid. Yeah, aku takut kalau lama-lama nyaman seperti ini. Bukan apa-apa,
tapi maksudnya hanya karena hati yang belum sembuh, aku tidak bisa memaksakan
diri untuk terbiasa hidup tanpa berbagi apapun kepada orang lain. Aku takut
kalau nanti saatnya aku harus mencintai lagi, hatiku sudah terlanjur tertutup
lalu semuanya terlambat kembali. You know what? Sometimes I wish I know it feels to be on the end of the part. Must be nice, punya keyakinan seperti itu, punya keberanian dan keteguhan untuk mencintai tanpa takaran. Kamu nggak perlu terus bertanya-tanya , apa yang kamu berikan udah cukup atau berlebihan, sejauh mana kamu menyayangi seseorang, dan apa balasan yang kamu terima udah setimpa. Karena untuk orang-orang yang mencintai dengan bebas, semua itu nggak penting. You don't think. You just do.
Pada akhirnya hanya aku yang harus bertanggung jawab atas lukaku sendiri. Biarkan cinta membuat kisahnya sendiri, aku tak boleh melupakan hidup yang harus tetap berjalan. I remember, I let go, I moved on. But that still doesn't mean I don't miss him sometimes.
- Amanta Ayu, Sa