Kamis, 28 November 2013

Dua Puluh Hari


Ceritanya aku sedikit bercerita, tentang dua puluh hari yang menyenangkan, sekaligus sedikit menyesatkan.

Hari-hari pertama dalam dua puluh hari itu, aku merasakan siklus perasaan antara panik, marah, bosan, dan bahagia. Rindu? Tidak sama sekali. Beruntungnya, para pembunuh waktu datang dengan sendirinya.

Buatku, para pembunuh waktu itu datang tepat waktu. Dengan itu aku sanggup menuangkan apa yang selama ini hanya aku simpan. Tenaga, dan pikiran. Dengan itu pula aku sanggup menghabiskan waktu, dan sayangnya juga uang.

Bahagia lalu tumbuh menyeruak. Seakan aku yang pernah ada kembali lagi, bebas dan untuk siapa saja. Semua waktu rasanya ingin kuraup kuhabiskan sendiri, atau untuk mereka yang hanya sekali-sekali ada.

Dan juga untuk dia yang secara kebetulan hadir.

Entah nampak, atau memang sudah tersiar kabar di luar sana yang aku bahkan tak pedulikan, rasanya orang-orang yang biasa kutemui seperti menyembunyikan suatu ucapan atau cerita. Entah.

Hari-hari berikutnya dalam dua puluh hari itu sama sekali tak aku rasakan sesuatu yang biasa ada dalam teori orang-orang dalam siklus seperti ini; hampa.

Lagipula, untuk apa aku merasakan hampa, kalau memang aku yang menginginkan siklus ini?

Segala bentuk kebebasan lalu aku lakukan. Segala yang berhubungan denganmu aku simpan, kalau perlu aku buang. Melupakan? Tidak, aku hanya memaafkan. Melupakan bagiku jauh lebih sukar daripada hanya memaafkan, dan akhirnya menyilakan kamu keluar dan juga senang sendiri.

Akhir November, yang juga berarti menjelang Desember.

Segala rencana ada untuk hari ketujuh.

Tapi tiba-tiba bubar.

Kesal? Iya. Tapi lalu untuk apa, toh bukan salah siapapun.

Empat hari kemudian kamu datang lagi, membawa beribu rindu yang memang selalu tersimpan, pun aku.

Masa yang menyenangkan, secara otomatis harus disimpan saja, juga cerita-cerita dan yang andil di dalamnya. Aku pikir-pikir, aku tak ubahnya jadi subyek pelarian belaka menembus aku yang sudah lama ditinggalkan.

Denganmu memulai lagi dari awal, dan mungkin inilah yang aku terima sebagai konsep restart yang seharusnya.

Semoga, ya, semoga, semua ini, dua puluh hariku dan dua puluh harimu, memang sebuah proses untuk duapuluhmasa dan seterusnya untuk kita.

- Amanta Ayu, Sa

Rabu, 27 November 2013

Just Live!

beberapa hari yang lalu aku bertanya ke dua orang teman via whatsapp, “kalau suatu saat nanti kita sudah semakin jarang bertemu dan berkomunikasi, kamu akan mengingatku sebagai (si)apa?”

dua orang itu kompak mencantumkan kata “galau” #dhuarr . hahaha, saat itu aku hanya bisa tertawa..

memang tidak aku pungkiri, konten twit-ku seringkali bernada galau. meski tidak semua dilatarbelakangi kegalauan *hmmm*. kadang asyik aja mencoba berkreasi dengan kata-kata, main twitter menjadi semacam katarsis dari berbagai tekanan kehidupan *tsaaahhh*

seringkali kegalauan itu dimaksudkan untuk menertawakan hidup, tragedi pun bisa berubah menjadi kelucuan bila kita bertujuan untuk menjadi bahagia di akhir perjalanan. but then, i took a moment to contemplate *wooosshhh, inner peace*. somehow, i just want to fill-up 2013 with more happiness \o/

kalaupun galau, haruslah galau yang jenaka :)
***

tadi pagi, aku ikut sebuah kontes foto berhadiah smartphone *pasang iket kepala..berubah jadi quiz hunter* XD
dipersyaratkan bagi peserta untuk upload foto yang menangkap momen sepanjang tahun 2012, minimal 1 foto tiap bulannya. di sana aku dibantu untuk menyusuri kembali apa yang terjadi sepanjang tahun yang baru saja berlalu. karena laptop baru saja hilang, jadinya aku buka kumpulan foto yang ada di facebook. ternyata ada banyak cerita, ada berbagai kisah, sedih, gembira, gundah gulana, pun bahagia

seakan terjadi sudah lama sekali, padahal itu baru saja
***

di malam sebelumnya, aku sempat mengirim DM ke seorang mantan karena twitnya yang mengingatkan bagaimana kami mulai saling mendekat kala itu, lima tahun lalu.. sekarang kami berteman baik, dan dia hidup bahagia dengan pasangannya yang kuanggap serasi :)
i’m happy for them

kukatakan kepadanya bahwa tiap pergantian malam tahun baru selalu ada kenangan tentang aku yang pernah kecopetan dan harus menginap di pos satpam kantor tapi senang karena menghabiskan malam pergantian tahun ditemani dia di ujung telepon selama lebih dari lima jam

dia bilang, “time flies..”

dan aku katakan kepadanya, “i’m glad that i remember the good parts of our story, of u.. it was a good one.. thank u!”

hahaha… bukan maksud menggoda yah, konteksnya adalah bahwa aku bersyukur kalau saat ini, lima tahun kita berpisah, kenangan yang tersisa tentang dia, tentang kita adalah hal-hal indah/baik..  
***

hidup ini singkat, dan cuma sekali..

mari rayakan kehidupan!

dengan semua kesedihan dan kegembiraannya

karena semua emosi itu indah..

hidup itu indah

just live!
 - Amanta Ayu, Sa

Selasa, 26 November 2013

Gila



Rasanya ingin mati. Bukan, jangan mati, terlalu dini. Mungkin lebih baik memang hanya anggap kepala ini batu jadi kalau pun tak sakit, ya langsung pecah.

Gila.

Rasanya ingin tertawa. Iya tertawa, melihat aku kamu seperti boneka entah siapa dalangnya. Kalau pun aku melawak, kamu cuma diam. Kalau pun aku sedih, herannya, kamu langsung tertawa.

GILA.

Rasanya ingin memaki. Tenang, aku bahkan hanya ingin memaki tembok kamarku. Kenapa dia begitu egois, tak menjawab pertanyaanku barang satu pun.

Gila.

Rasanya ingin diam. Mungkin capek. Tentu lah orang pasti lelah, lalu ingin rehat. Satu, dua, tiga detik cukup, kok. Buat apa berlama-lama?

GILA.

Rasanya ingin diam. Ingin Berteriak. Ingin tertawa. Ingin memaki. Lalu diam lagi. Kenapa?


- Amanta Ayu, Sa

Salam Datang


Sore kali ini benar-benar menyatu dengan rintikan air yang menetes di halaman depan. Mungkin ingin bilang permisi, lama-kelamaan juga mengetuk-ngetuk daun jendela. Hei, selamat datang, tapi kuharap kamu tak bertamu lama-lama.

Nanti sebelum petang aku sudah menyiapkan peralatan sederhanaku untuk lagi-lagi mencari Senja. Kalau ada, aku mau merekam sepenuhnya, supaya nanti aku bisa menikmati sendiri kala ingin. Nah, maka Hujan, jangan datang terlalu lama, aku mau bertemu yang lain.

Aku siapkan juga kopi untuk kuseduh nanti, sekaligus dua cangkir, dan juga kusiapkan penganan yang cukup dihabiskan berdua. Mungkin tak terlalu nikmat rasanya, tapi kopi sengaja kubuat pahit dan penganan sengaja kucarikan yang manis. Kamu bertanya agar apa? Sederhana; aku hanya ingin melihat perbandingan air mukamu nanti saat mencecapnya.

Kursi teras rumahku sudah kubersihkan, karena kamu tahu, jarang sekali penghuni rumahku duduk di sana. Nanti kamu tunggu saja di sana, sembari mungkin menikmati bunga-bunga pekarangan depan yang selalu kurapikan. Tak perlu kamu ketuk pintu, karena pintu hanya diketuk oleh mereka yang tak memiliki kunci, dan kamu; selalu kusediakan tersendiri.

- Amanta Ayu, Sa

Jumat, 22 November 2013

Karena Apa?


sejak itu, aku pergi.

sejak itu, aku tak meminta.

sejak itu, aku berlari.

sejak itu, aku tak menunggu.

sejak itu, aku sadar.

sejak itu, aku tak berharap.

sejak itu, aku tersenyum dan sedih.

sejak itu, aku tak percaya.

sejak itu, aku menghilang.

sejak itu, aku tak bertanya.



dan,

sejak itu,

aku diam.

 

- Amanta Ayu, Sa

Senin, 04 November 2013

Pernah, dan Akan Selalu


Aku pernah berjanji untuk melupakanmu, meninggalkanmu di belakang bahuku, menganggapmu masa lalu dan berjalan dengan hati yang lain.

Aku pernah, pernah berjanji untuk tak memikirkanmu lagi, mencari hal yang lebih menarik dari sekedar sehelai tarikan horizontal yang kau buat dalam semyummu.

Aku pernah, entah sejak kapan hari itu dapat dikatakan “kemarin” atau bahkan “dahulu” – berjanji untuk mengalah pada harapan ini, mengalah padamu.

Aku pernah, menjadikanmu mimpi indahku. Disegala cuaca. Disegala udara. Disegala suasana hati.

Aku pernah, menjadikanmu alasan. Alasan untuk selalu bertahan apa pun yang terjadi, alasan untuk terus hidup, alasan untuk melewati segala hal membosankan ini.

Aku selalu, selalu merindukanmu. 
Selalu mencintaimu. 
Selalu membutuhkanmu. 
Selalu memikirkanmu.

Aku pernah, pernah berharap kau menyadari ini semua, melihatku yang selalu berada satu hasta di belakangmu, menoleh dan memelukku. Menarik salah satu tanganku untuk kau genggam dan menjadikan kita beriringan. Bukan membelakangi, bukan mengikuti,bukan mendahului.

Aku selalu,
selalu ada disini.
Tetap ada disini.
Entah sampai kapan.
Mungkin sampai,
kata “selalu” berlalu,
dan menjadi,

selamanya.

- Amanta Ayu, Sa