Senin, 28 Januari 2013

Epilog



Dulu pernah hujan sore hari membuatmu bosan
Kau katakan coba saja ada kehangatan
Kemudian sempat aku nyalakan korek api dalam perapian

Menyala tapi cuma kecil saja lalu, mati
Dan dinginnya membuatmu kembali, bosan 


Dulu pernah aku bilang warna hijau saja untuk cerita kita
Tapi kau bilang warna-warni akan membungkusnya lebih rapi,
sehingga mengabaikan isi di dalamnya yang sebagian besar, hampa

Dulu pernah kita mengira hujan akan berhenti, dan menikmati siang bermandi matahari 

Padahal saat itu januari dan kita menanti saja berharap terang segera datang, tahu-tahu petang

Lalu kita tersadar kalau hujan tidak usai hari ini

Dulu pernah kita mengira mengawali cerita bersama akan menyenangkan,

lantaran tinggal menambahi lanjutannya saja

Yang tidak terprediksi hanyalah,

masing-masing kita punya epilog yang lain lagi


- Amanta Ayu, Sa

Jalan Lengang


Bolehkah aku menyebutmu jalan lengang

Yang mencintaiku dengan kesunyian

Memberikan ruang bagiku untuk bercerita tentang masa depan

Benarkah kamu memang jalan lengang

Yang tanahnya sering basah karena hujan

Dimana kepadanya rindu sering kutitipkan

Masihkah kamu menjadi jalan lengang

Yang jarang dilalui orang
Namun membiusku untuk selalu ingin bertandang

Tetaplah menjadi jalan lengang

Yang dalam diam selalu membuatku penasaran

Ingin menyusurimu, sampai aku lupa pulang


- Amanta Ayu, Sa

We're Not Fine


Ini terlihat seperti kita sedang tidak baik kan?
 

Tertawa. Tidak samar. Tapi terlihat hampa.
Bertemu. Berjalan sejajar. Searah. Sekali lagi, tapi hampa
 

Ini terlihat seperti kita sedang tidak baik kan?
Jemarimu menyentuh pipi. Aku senang. Tapi jiwanya seperti tak disini
 

Berlarian, berpegang erat, mengait jemari. Tapi tak merasa aman
 

Ini terlihat kita sedang tidak baik kan?
Duduk berdua bersanding di bangku, jarang berdekatan satuan senti
 

Katakan. Katakan apa yang mengganjal. Yang menjadikan meremang
Iya memang, kita sedang tak baik-baik saja.


- Amanta Ayu, Sa


Mereka Bilang

Orang bilang, biarkan mengalir 

Layaknya sungai mengalir dari hulu ke hilir 

Sampai berakhir di laut 

Orang bilang, sakit hati tak akan selamanya terasa, waktu akan menyembuhkannya 

Membuat kita terbiasa dengan perihnya, dengan luka yang ditorehnya 

Tapi kadang alirannya tersendat oleh rasa sakit dan takut akan kehilangan yang menyayat 

Dan, apa lagi yang akan dikata orang-orang? 

Tapi kadang pula, sakit selamanya ada 

Tak peduli entah berapa hari yang berlalu terbang terbawa angin kencang luka tetap saja menganga 

Dan, apa lagi yang akan mereka jadikan pembelaan? 

Kadang ingin kututup telinga 

Agar tak usah kudengar apa yang orang bilang, 
karena mereka tak mengerti, 
bukan mereka yang menjalani 

Jadi, untuk apa repot-repot berpura-pura sudah memahami?

 - Amanta Ayu, Sa

Mengutip

Dalam gelap, aku tak bisa melihat sebiru apa langit itu.

Aku terlalu nyaman dengan rahasia ini. Aku menyelipkan perasaanku di antara keseharianku. Aku memilih sendiri. Menyepi. Membenci diri yang tak bisa jujur padamu.

Sesungguhnya, aku tak tahan lagi. Semakin besar kurasa jarak di antara kita. Kau semakin sulit kuraih—dengan atau tanpa sunyi di bibirku ini. Dan aku mulai bosan dengan gelap. Jenuh dengan segala rahasia.

Karenanya, hari ini, kuputuskan untuk berterus terang padamu. Bertanya dengan segenap tetes keberanianku, “Maukah bersamaku menikmati birunya langit hari ini?


--------- 

Bagaimana caraku menatapmu, memandangmu lurus-lurus tanpa rasa bersalah? Karena setiap kali aku berhadap-hadapan denganmu, berusaha bereaksi atas senyuman tulusmu, aku seketika menundukkan kepala. Saat melihatmu, aku melihat dirinya.

Cinta memang bukan sesuatu yang bisa dipermainkan, dan sayangnya, aku baru menyadari ketika benar-benar terperosok ke dalamnya. Seperti pasir isap, sulit bagiku untuk keluar dari segitiga ini.

Ada tiga sisi di cinta ini, ada tiga perasaan yang tengah dipertaruhkan.


Tak seharusnya ini terjadi, aku tahu itu. Tapi, kau dan dia bagaikan air dan udara—bagaimana bisa aku memilih hidup dengan salah satunya saja?


----------

Aku punya cerita.
Tentang seseorang yang menghabiskan separuh hidupnya mencari cinta. Menelusuri ke segala arah, bertanya ke semua orang. Dan, pada suatu masa, orang itu mulai merasa lelah. Mulai pesimis. Apakah semustahil itu cinta hadir untuk dirinya?

Saat itulah cinta datang. Sungguh-sungguh menghampirinya, benar-benar berdiri di hadapannya. Namun, tahukah kau apa yang dia lakukan kemudian? Berjalan menjauh. Dan, melanjutkan pencariannya lagi.

Aku punya cerita.
Tentang orang yang terlalu banyak berharap. Tentang sebuah kekeraskepalaan. Tentang aku dan lelakiku. Tentang cerita yang tak kunjung lengkap.

-----------

Kau adalah hangat. Padamu aku temukan dunia yang ramai dan selalu bahagia. Kau adalah rumah. Tempat aku menitipkan tawa kanak-kanakku, juga menyimpan mimpi tentang sebuah masa depan.
Suatu hari, mungkin rumahku tidak lagi kau. Tidak bisa dan tidak mungkin. Kau hanyalah rumah tempat aku menyimpan berpuluh-puluh frame yang tidak akan lapuk karena waktu. Tempat aku selalu kembali meski mungkin kau tidak lagi berada di sana.

Kau datang menjelma sepi. Lalu, pergi meninggalkanku dalam gigil. Gadis polos dalam kamuflase musim semi, aku membencimu. Tak ada kau dan aku dalam cerita masa depan. Itulah mengapa aku memilih menjauh.
Namun, kau tahu, hingga mana pun jauh mengantar langkahku, ternyata tak pernah ada yang menamai rindu milikku, sesempurna kau menamainya. Dan, membuatnya akan selalu menjadi milikmu.

-------------

Aku berharap tak pernah bertemu denganmu.
Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku.
Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.

Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu.
Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.

Tapi...
kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti
apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa.
Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai...
dan dicintai sosok seindah dirimu.