Senin, 25 Februari 2013

Tidak sengaja menulis ini


Lucu sekali di malam yang hujan seperti ini, (yang harusnya membuat tidur damai atau meringkuk ngantuk) aku masih terjaga. Tidak tahu sampai pukul berapa.

Setelah kamu pergi, aku tidur hanya sebentar sehari. Bukan, bukan karena aku membiarkan diriku menangis semalaman. Dan bukan juga karena aku berhenti peduli terhadap diriku sendiri. Aku hanya sedang berfikir lebih lama dari biasanya— sampai aku lelah terjaga dan tahu-tahu saja pagi. Aku terbangun dan mengambil ponselku lalu hendak mengirimkan ucapan selamat pagi yang manis seperti biasanya kepadamu—berharap kamu lebih bersemangat, tapi ketika hendak mengirim ke nomormu, pesan-pesan itu menggunduk sia-sia di folder Draft. Maaf, kadang-kadang aku lupa bahwa aku telah kehilanganmu. Hahaha, aku sering menertawakan diriku sendiri. Lebih baik begitu bukan? Aku telah berlatih keras untuk tidak menangis.
Aku benar-benar ingin menunjukkan kalau aku dewasa dan cukup kuat.


Aku menyukai saat-saat sibuk yang kubuat untuk melupakan tentangmu sejenak, mengingat itu hal yang menjadi menyakitkan sekarang. Namun rasanya aku tidak perlu melupakanmu pun tidak perlu berhenti menyayangimu. Kita pernah saling mengingatkan untuk hal baik. Kita pernah saling membuat bahagia. Kita tak perlu saling membenci untuk keadaan seperti ini. Mungkin memang bagiku, terlalu sebentar kamu disini. Aku masih ingin memandangimu dan berat untuk mengatakan bahwa aku sangat merindukanmu. Aku masih ingin peduli. Masih ingin melakukan semuanya bersamamu seperti biasa. Masih ingin membangunkanmu di pagi hari. Masih ingin menghiburmu. Tetapi aku langsung tahu itu tak berguna lagi. Aku bingung bagaimana cara untuk mengungkapkannya. Aku takut dan aku terlalu pengecut untuk sekedar mengawali, takut kamu lebih marah. Sebaiknya memang seperti ini, aku jauh-jauh darimu hingga rasanya kamu lupa aku ada. Segalanya terasa begitu cepat, dan sulit mengatakan bahwa aku masih belum siap kehilanganmu. Aku belum terbiasa tanpamu.

Aku sangat menyesal, tak berniat minta maaf karena kamu sudah bosan mendengarnya. Aku bertanya-tanya apa masih bisa aku menengok isi hatimu sekali lagi. Tapi mungkin kamu sudah belajar mencintai orang lain. Tak merasa sedih—atau bahkan senang berhasil lepas dariku.
Meskipun diam-diam aku masih berharap kamu kembali, namun aku tidak memaksa kepada Tuhan untuk melakukannya. Aku bisa baik-baik saja tentu saja belajar darimu. Maka jangan pernah menjadi buruk atau lebih buruk setelah kita seperti ini. Aku akan tetap mendoakanmu, karena sepertinya itu yang tersisa.

Hey, aku tidak bicara seperti seorang yang tengah putus asa. Aku belum sepenuhnya dewasa dan masih banyak yang belum aku pelajari. Aku penah berjanji padamu—dan akan senantiasa berjanji pada dunia untuk tak menyerah pada mimpi-mimpiku. Tentu saja, tentu saja apa yang kulakukan sekarang adalah mencoba menerima. Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan aku akan mengerti, pun juga akan memahami.

Alsa! Andai ada yang memanggilku seperti itu lagi. Tapi itu terlalu berharga untuk dibagi bersama seseorang yang bukan Tian.

Senja tak lagi sama tapi pagi masih tetap indah bukan?
Selamat pagi.
Selamat siang.
Selamat sore.
Selamat malam.

Aku akan tetap mengucapkan seolah kamu tersenyum dan mendengarkan.

- Amanta Ayu, Sa

Kehilangan (mu)




Aku menulis ini karena akhirnya aku bisa menyadari kalau ternyata aku masih bisa berjalan lagi.

Kalau ternyata, kehilangan(mu) bukanlah akhir bagi duniaku. Mungkin akhir dari cerita bahagiaku yang ini, tapi bukan akhir dari cerita bahagiaku yang lain. Kenyataannya hidupku terus berjalan sampai sekarang, masih bisa tertawa, masih bisa melakukan hal-hal yang dari dulu biasa kukerjakan setiap harinya. Aku hanya harus melalui kesedihan yang sementara dan beratnya melepaskan yang juga hanya sementara. Tetapi pada akhirnya, aku akan tetap bisa baik-baik saja.


Aku menulis ini karena akhirnya aku menyadari kalau bahagiaku masih ada di masa depan. Mungkin dulu aku yang tergesa-gesa memutuskan bahwa kamu adalah bahagiaku yang selamanya. Ternyata tidak demikian. Ternyata, mungkin Tuhan menyiapkan yang terbaik untuk yang terakhir, di waktu yang menurut-Nya tepat. Dan itu pasti bukan kamu dan juga bukan waktu sekarang, karena kamu meninggalkanku.


Yang harus aku lakukan saat kehilangan(mu) hanya bertahan, lebih memperhatikan sekitar, dan tidak fokus pada kehilangannya.  Karena seberapa pun hidup menjatuhkan seseorang, orang itu tetap memiliki kekuatan untuk memilih berlama-lama meratapi kejatuhannya atau bangkit kembali untuk menyambut bahagianya yang lain. Aku memilih untuk bangkit kembali, merebut bahagiaku kembali.


Jadi, aku sudah berdiri lagi di sini. Aku sudah siap untuk jatuh cinta kembali. Untuk berbahagia lagi. Sudah juga menghapusmu dari hatiku. Memang tidak menghapus kenangannya, hanya membersihkan ruangannya untuk nantinya bisa ditempati orang yang lebih baik lagi. Yang lebih tepat untukku menurut Tuhan, bukan yang tepat bagiku menurutku sendiri. Karena kalau di hatiku masih ada kamu, kasihan orang lain yang lebih mencintaiku dan berusaha masuk ke hatiku.


Jadi, sebenarnya, kehilanganmu tidak apa. Aku akan sakit sementara. Tetapi, selama aku tidak pernah kehilangan hati dan pikiranku sendiri; aku rasa aku akan baik-baik saja. Karena sebelum ada kamu pun, aku pernah berbahagia, jadi kebahagiaanku sudah pasti bukan tergantung pada kamu.


- Amanta Ayu, Sa