Jumat, 20 Desember 2013

Indifferent

 
“It's hard being left behind. It's hard to be the one who stays.”
― Audrey Niffenegger, The Time Traveler's Wife
 
***

ketika canda pun mulai menjadi barang langka yang selalu aku cari dan susah kutemui. kadang mengharap, tapi selalu saja rasa itu hadir -tak percaya bahwa tawa yang harus kukeluarkan memang punyaku, dan lagi, sepertinya waktu mulai mendatangkan jenuh. entahlah.

ketika sebuah percakapan pun hanya sebatas kata klise, sebuah keharusan untuk diucapkan. lelah, ketiga harus berdramatugi di dalamnya, yang harusnya aku bisa menjadi aku seperti biasa. tersenyum, seolah tak apa.

mauku jangan selesai, tapi tak perlu munafik untuk menyelesaikan. mauku selalu ada, tapi buat apa ada kalau seringnya seperti tak ada?

bukan menuntut, bukan memaksa. itu maumu, dan itu pilihanmu. itu waktumu, dan semuanya punyamu. silahkan.

aku bukan tak punya hak, tapi memang serasa tak punya. bisa tolong jelaskan?

senang mengenalmu dan dekat denganmu. senang ada bersamamu dan ambil bagian dalam waktumu.

silahkan kamu bergulat dengan waktumu, bagilah kalau kamu mau berbagi, dan simpanlah semua yang memang mau kamu simpan karena aku tak memaksamu untuk melaporkan segala hal kepadaku.

semoga sukses dengan semua yang kamu pilih dengan waktumu. :)
 
- Amanta Ayu, Sa

Kamis, 28 November 2013

Dua Puluh Hari


Ceritanya aku sedikit bercerita, tentang dua puluh hari yang menyenangkan, sekaligus sedikit menyesatkan.

Hari-hari pertama dalam dua puluh hari itu, aku merasakan siklus perasaan antara panik, marah, bosan, dan bahagia. Rindu? Tidak sama sekali. Beruntungnya, para pembunuh waktu datang dengan sendirinya.

Buatku, para pembunuh waktu itu datang tepat waktu. Dengan itu aku sanggup menuangkan apa yang selama ini hanya aku simpan. Tenaga, dan pikiran. Dengan itu pula aku sanggup menghabiskan waktu, dan sayangnya juga uang.

Bahagia lalu tumbuh menyeruak. Seakan aku yang pernah ada kembali lagi, bebas dan untuk siapa saja. Semua waktu rasanya ingin kuraup kuhabiskan sendiri, atau untuk mereka yang hanya sekali-sekali ada.

Dan juga untuk dia yang secara kebetulan hadir.

Entah nampak, atau memang sudah tersiar kabar di luar sana yang aku bahkan tak pedulikan, rasanya orang-orang yang biasa kutemui seperti menyembunyikan suatu ucapan atau cerita. Entah.

Hari-hari berikutnya dalam dua puluh hari itu sama sekali tak aku rasakan sesuatu yang biasa ada dalam teori orang-orang dalam siklus seperti ini; hampa.

Lagipula, untuk apa aku merasakan hampa, kalau memang aku yang menginginkan siklus ini?

Segala bentuk kebebasan lalu aku lakukan. Segala yang berhubungan denganmu aku simpan, kalau perlu aku buang. Melupakan? Tidak, aku hanya memaafkan. Melupakan bagiku jauh lebih sukar daripada hanya memaafkan, dan akhirnya menyilakan kamu keluar dan juga senang sendiri.

Akhir November, yang juga berarti menjelang Desember.

Segala rencana ada untuk hari ketujuh.

Tapi tiba-tiba bubar.

Kesal? Iya. Tapi lalu untuk apa, toh bukan salah siapapun.

Empat hari kemudian kamu datang lagi, membawa beribu rindu yang memang selalu tersimpan, pun aku.

Masa yang menyenangkan, secara otomatis harus disimpan saja, juga cerita-cerita dan yang andil di dalamnya. Aku pikir-pikir, aku tak ubahnya jadi subyek pelarian belaka menembus aku yang sudah lama ditinggalkan.

Denganmu memulai lagi dari awal, dan mungkin inilah yang aku terima sebagai konsep restart yang seharusnya.

Semoga, ya, semoga, semua ini, dua puluh hariku dan dua puluh harimu, memang sebuah proses untuk duapuluhmasa dan seterusnya untuk kita.

- Amanta Ayu, Sa

Rabu, 27 November 2013

Just Live!

beberapa hari yang lalu aku bertanya ke dua orang teman via whatsapp, “kalau suatu saat nanti kita sudah semakin jarang bertemu dan berkomunikasi, kamu akan mengingatku sebagai (si)apa?”

dua orang itu kompak mencantumkan kata “galau” #dhuarr . hahaha, saat itu aku hanya bisa tertawa..

memang tidak aku pungkiri, konten twit-ku seringkali bernada galau. meski tidak semua dilatarbelakangi kegalauan *hmmm*. kadang asyik aja mencoba berkreasi dengan kata-kata, main twitter menjadi semacam katarsis dari berbagai tekanan kehidupan *tsaaahhh*

seringkali kegalauan itu dimaksudkan untuk menertawakan hidup, tragedi pun bisa berubah menjadi kelucuan bila kita bertujuan untuk menjadi bahagia di akhir perjalanan. but then, i took a moment to contemplate *wooosshhh, inner peace*. somehow, i just want to fill-up 2013 with more happiness \o/

kalaupun galau, haruslah galau yang jenaka :)
***

tadi pagi, aku ikut sebuah kontes foto berhadiah smartphone *pasang iket kepala..berubah jadi quiz hunter* XD
dipersyaratkan bagi peserta untuk upload foto yang menangkap momen sepanjang tahun 2012, minimal 1 foto tiap bulannya. di sana aku dibantu untuk menyusuri kembali apa yang terjadi sepanjang tahun yang baru saja berlalu. karena laptop baru saja hilang, jadinya aku buka kumpulan foto yang ada di facebook. ternyata ada banyak cerita, ada berbagai kisah, sedih, gembira, gundah gulana, pun bahagia

seakan terjadi sudah lama sekali, padahal itu baru saja
***

di malam sebelumnya, aku sempat mengirim DM ke seorang mantan karena twitnya yang mengingatkan bagaimana kami mulai saling mendekat kala itu, lima tahun lalu.. sekarang kami berteman baik, dan dia hidup bahagia dengan pasangannya yang kuanggap serasi :)
i’m happy for them

kukatakan kepadanya bahwa tiap pergantian malam tahun baru selalu ada kenangan tentang aku yang pernah kecopetan dan harus menginap di pos satpam kantor tapi senang karena menghabiskan malam pergantian tahun ditemani dia di ujung telepon selama lebih dari lima jam

dia bilang, “time flies..”

dan aku katakan kepadanya, “i’m glad that i remember the good parts of our story, of u.. it was a good one.. thank u!”

hahaha… bukan maksud menggoda yah, konteksnya adalah bahwa aku bersyukur kalau saat ini, lima tahun kita berpisah, kenangan yang tersisa tentang dia, tentang kita adalah hal-hal indah/baik..  
***

hidup ini singkat, dan cuma sekali..

mari rayakan kehidupan!

dengan semua kesedihan dan kegembiraannya

karena semua emosi itu indah..

hidup itu indah

just live!
 - Amanta Ayu, Sa

Selasa, 26 November 2013

Gila



Rasanya ingin mati. Bukan, jangan mati, terlalu dini. Mungkin lebih baik memang hanya anggap kepala ini batu jadi kalau pun tak sakit, ya langsung pecah.

Gila.

Rasanya ingin tertawa. Iya tertawa, melihat aku kamu seperti boneka entah siapa dalangnya. Kalau pun aku melawak, kamu cuma diam. Kalau pun aku sedih, herannya, kamu langsung tertawa.

GILA.

Rasanya ingin memaki. Tenang, aku bahkan hanya ingin memaki tembok kamarku. Kenapa dia begitu egois, tak menjawab pertanyaanku barang satu pun.

Gila.

Rasanya ingin diam. Mungkin capek. Tentu lah orang pasti lelah, lalu ingin rehat. Satu, dua, tiga detik cukup, kok. Buat apa berlama-lama?

GILA.

Rasanya ingin diam. Ingin Berteriak. Ingin tertawa. Ingin memaki. Lalu diam lagi. Kenapa?


- Amanta Ayu, Sa

Salam Datang


Sore kali ini benar-benar menyatu dengan rintikan air yang menetes di halaman depan. Mungkin ingin bilang permisi, lama-kelamaan juga mengetuk-ngetuk daun jendela. Hei, selamat datang, tapi kuharap kamu tak bertamu lama-lama.

Nanti sebelum petang aku sudah menyiapkan peralatan sederhanaku untuk lagi-lagi mencari Senja. Kalau ada, aku mau merekam sepenuhnya, supaya nanti aku bisa menikmati sendiri kala ingin. Nah, maka Hujan, jangan datang terlalu lama, aku mau bertemu yang lain.

Aku siapkan juga kopi untuk kuseduh nanti, sekaligus dua cangkir, dan juga kusiapkan penganan yang cukup dihabiskan berdua. Mungkin tak terlalu nikmat rasanya, tapi kopi sengaja kubuat pahit dan penganan sengaja kucarikan yang manis. Kamu bertanya agar apa? Sederhana; aku hanya ingin melihat perbandingan air mukamu nanti saat mencecapnya.

Kursi teras rumahku sudah kubersihkan, karena kamu tahu, jarang sekali penghuni rumahku duduk di sana. Nanti kamu tunggu saja di sana, sembari mungkin menikmati bunga-bunga pekarangan depan yang selalu kurapikan. Tak perlu kamu ketuk pintu, karena pintu hanya diketuk oleh mereka yang tak memiliki kunci, dan kamu; selalu kusediakan tersendiri.

- Amanta Ayu, Sa

Jumat, 22 November 2013

Karena Apa?


sejak itu, aku pergi.

sejak itu, aku tak meminta.

sejak itu, aku berlari.

sejak itu, aku tak menunggu.

sejak itu, aku sadar.

sejak itu, aku tak berharap.

sejak itu, aku tersenyum dan sedih.

sejak itu, aku tak percaya.

sejak itu, aku menghilang.

sejak itu, aku tak bertanya.



dan,

sejak itu,

aku diam.

 

- Amanta Ayu, Sa

Senin, 04 November 2013

Pernah, dan Akan Selalu


Aku pernah berjanji untuk melupakanmu, meninggalkanmu di belakang bahuku, menganggapmu masa lalu dan berjalan dengan hati yang lain.

Aku pernah, pernah berjanji untuk tak memikirkanmu lagi, mencari hal yang lebih menarik dari sekedar sehelai tarikan horizontal yang kau buat dalam semyummu.

Aku pernah, entah sejak kapan hari itu dapat dikatakan “kemarin” atau bahkan “dahulu” – berjanji untuk mengalah pada harapan ini, mengalah padamu.

Aku pernah, menjadikanmu mimpi indahku. Disegala cuaca. Disegala udara. Disegala suasana hati.

Aku pernah, menjadikanmu alasan. Alasan untuk selalu bertahan apa pun yang terjadi, alasan untuk terus hidup, alasan untuk melewati segala hal membosankan ini.

Aku selalu, selalu merindukanmu. 
Selalu mencintaimu. 
Selalu membutuhkanmu. 
Selalu memikirkanmu.

Aku pernah, pernah berharap kau menyadari ini semua, melihatku yang selalu berada satu hasta di belakangmu, menoleh dan memelukku. Menarik salah satu tanganku untuk kau genggam dan menjadikan kita beriringan. Bukan membelakangi, bukan mengikuti,bukan mendahului.

Aku selalu,
selalu ada disini.
Tetap ada disini.
Entah sampai kapan.
Mungkin sampai,
kata “selalu” berlalu,
dan menjadi,

selamanya.

- Amanta Ayu, Sa

Selasa, 15 Oktober 2013

I've Missed You



“Tears stream down on your face, when you lose something you cannot replace. Tears stream down on your face. And I, promise you I will learn from my mistakes. And I, will try to fix you.Coldplay, Fix You

I'm at mid-October now, September was already long over.

Aku kesepian. Ya, kurasa cuma itu alasan yang bisa menjelaskan kenapa belakangan aku menjadi sinis terhadap kebahagiaan orang lain. Kenapa aku bisa begitu anti terhadap berbagai macam keramaian. Aku terus menerus menyalahkan diri sendiri. Kenapa seolah cuma aku yang harus melewati kehidupan—yang kurasa mendadak—monoton ini. Kemudian aku sadar bahwa hidupku berbeda sejak aku kehilangan seseorang. Karena jauh sebelumnya, ketika musim panas dimulai, someone broke me, setelah aku memutuskan untuk mencintai dia saja. Dia adalah laki-laki sederhana dengan hati baik—yang awalnya tulus itu—mencoba untuk selalu ada untukku. 



It's complicated. Dulu kami hanya teman biasa sampai hari itu. Sebuah hari libur di pertengahan bulan April yang mendung. Kami menghabiskan pagi di yang membosankan di ruang tamu rumahnya, dia dengan gitarnya dan aku asyik dengan duniaku sendiri, menyanyi sumbang lirik lagu-lagu akustik yang kuputar di ponselku sambil bermain game. Aku pura-pura tidak tahu bahwa dia memperhatikanku. Lalu dia tertawa dan meletakkan gitarnya, meraihku untuk mendekat, melihat jauh ke dalam mataku dan berkata “Let me be your only reason to smile from now” . Dia mungkin tidak tahan bahwa selama itu dia hanya menjadi tempat curhatku ketika aku bersedih saat proses melupakan mantanku sebelumnya. Aku masih ingat bagaimana dia selalu ada saat aku butuh telinga. Bahwa dia selalu membuatku tersenyum dan membuat semuanya ringan kembali. Aku fikir aku mulai menyukainya dan bisa menjalani hubungan yang dia minta pelan-pelan. Lalu ragu-ragu aku tersenyum dan hanya dengan satu kata “Okay”. OK. O-K. Sip. Baiklah. Dia menganggap itu kata afirmatif, tanda persetujuan, tanda siap memulai hubungan. Just simple word. But at the moment, it's more than enough. 



Hari itu ulang tahunku. Aku melewati waktu itu bersamanya, dengan makan malam sederhana di tengah kota. Dia memberiku hadiah, dua buah boneka, satu beruang, satu singa. Entah kenapa, saat itu aku merasa nothing special, bahkan kehadirannya di sisiku pun masih belum cukup. Aku menjadi seorang pendiam di hari yang seharusnya kulewati dengan meletup-letup. Ada rasa yang menggangguku sejak awal aku dan dia memulai hubungan. Aku merasa merindukan tahun lalu. Saat aku melewatkan ulang tahun dengan rasa bahagia yang luar biasa  dengan mantanku sebelumnya. Bagaimana semuanya tidak terasa datar dan seadanya. Lalu hatiku mulai membanding-bandingkan, bahwa dia tak akan pernah bisa seperti mantanku, Waktu itu dia bingung dengan sikapku, saat tiba-tiba air menetes bergantian memenuhi pelupuk mataku. Dia bertanya aku mengapa dan apa salahnya, dan aku tak bisa apa-apa selain menggeleng dan berkata kepadanya bahwa aku tak apa. Suasana menjadi kaku lalu tiba-tiba aku ingin pulang. Biasanya saat kami di jalan menuju kemanapun, ada saatnya dia memelankan motornya dan aku yang di belakanganya akan cerewet mengomentari apapun yang kami temui di sepanjang jalan, lalu dia menanggapinya dengan tawa dan kami bercanda tak henti-hentinya sampai tiba di tempat tujuan. Namun perjalanan kali itu terasa lebih lama, dia ngebut penuh emosi dengan motornya dan kami berdua diam sepanjang jalan pulang. Aku bertanya-tanya apakah keputusanku untuk menerimanya saat itu sudah tepat? Apakah benar dia orangnya? Apakah benar aku mencintainya? Aku masih ingat saat akhirnya kami tiba di depan rumahku, aku turun dari motornya dan dia masih enggan pulang. Dia di atas motornya menatapku dengan sorot mata takut kehilangan dan meminta aku jangan pergi. Saat itulah juga aku sadar bahwa dia sangat mencintaiku. Aku memeluknya dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Dalam hati, aku berjanji akan mencoba mencintainya lebih keras lagi.



Walaupun kami lebih baik, tapi kami tak pernah benar-benar baik-baik saja setelah itu. Kehidupan kami saat itu diwarnai dengan pertengkaran-pertengkaran kecil tentang musik apa yang menurut kami lebih bagus. Kami akan menertawakan candaan konyol yang sebenarnya nggak lucu-lucu amat, mencela-cela musik elektronika, mengomentari satu sama lain, berdebat tentang banyaj hal, dan tidak akan mundur sampai salah satunya mengalah. Kami pergi ke banyak tempat indah berdua, berangkat-pulang sekolah berdua, menonton film sampai larut malam berdua, and we share stupid things together. Kami mengatakan hal-hal yang benar dan hal-hal yang salah. Kami saling mendukung, saling menyakiti, dan saling menyalahkan. Itulah hubungan nyaris sempurna yang kami miliki saat itu. Seringkali saat aku PMS dan kesabarannya sedang berada pada level rendah, karena masalah sepele kami akan bertengkar hebat, saling mencela, membanding-bandingkan dan memutar fakta lalu diam beberapa hari sampai akhirnya berujung pada dia meminta maaf dan sorot mata takut kehilangan yang sama. But, he always find a reason to fight for me. For some reason, we stay. I stay.


Pada sebuah hubungan akan selalu ada pihak yang mencintai lebih besar dan meminta lebih banyak. Kadang aku merasa dalam hubunganku dan dia, orang itu adalah dia. Dulu, dia selalu memberi apapun tanpa aku perlu meminta namun dia yang selalu sering mengeluh tentang sikapku. Pernah sekali dia kelewat posesif  hingga aku merasa risih dan aku memarahinya. Sejak saat itu dia membebaskanku, namun kenyataannya aku yang terlalu sering mengikis kepercayaan yang dia berikan dan terlalu sering mengecewakannya. Aku tetap saja tak peduli, mengabaikannya dan bertindak semauku. Namun dalam keadaan apapun, dia tak pernah berhenti selalu ada untukku. Aku tidak dapat melupakan bagaimana dia duduk diam di kursi teras rumahku dengan sorot mata lelah dan terluka. Because of me. Sekarang saat aku menyesali semua sikapku kepadanya dulu, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri karena itu.



Waktu itu, kami masih terus menjalani hubungan walaupun dengan berat. Dia masih memperjuangkanku dengan sisa-sia harapan bahwa aku adalah masa depan untuknya, tetapi aku terus mengingkari kata hatiku sendiri dengan sisa-sisa keyakinanku bahwa sebenarnya aku tidak mencintainya. Sampai akhirnya aku menyerah dan mencampakkannya begitu saja dengan laki-laki lain yang baru kukenal. Aku melakukannya karena aku bosan dan semakin lelah karena aku sendiri tidak tahu harus bagaimana dan memilih apa, bukan karena aku mencintai orang baru itu. Dan dia, walaupun sudah terluka terlalu banyak tetap memintaku untuk bertahan. Aku menjelaskan padanya bahwa aku tak pernah pantas untuk cintanya, bahwa aku bukan orang yang tepat yang bisa membuatnya bahagia. Dan betapa busuknya aku berani mengatakan bahwa selama ini kita bukan apa-apa dan aku tidak mencintainya. Aku tahu seberapa remuknya ia saat membantah, he said whatever who i'm, whatever I do, he won't replace me. He loved me, and will always loving me. Dia butuh beberapa hari untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya sudah berakhir, berpura-pura semuanya tidak pernah terjadi, lalu mengatakannya sendiri di depanku dengan senyum samar “Thanks for all, ternyata cinta tak cukup dengan setia. Kapanpun kamu butuh aku, just say it and I will come,” hatiku serasa ikut remuk mendengarnya namun aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya membiarkan dia pergi menjauh. He's never know that I said leave, but he is everythings all I want.



Dia tidak tahu kalau hari-hari berikutnya hidupku hanya berisi penyesalan. Dia tidak tau seberapa banyak aku terluka ketika kami putus, dia fikir hanya dia yang menanggung itu. Tentang orang baru itu, ternyata tak lebih baik darinya. Aku tak lebih bahagia dan menerimanya tak mengubah apa-apa. Jadilah aku menyakiti lebih banyak hati lagi. Sejak itulah aku merasa benar-benar sendiri. Aku sejenak terkalahkan oleh rasa sakit dan tidak memiliki pertahanan untuk melindungi diri. I miss him. I miss us.



Tak hampir sebulan berlalu ia datang dan menawarkan menjadi temanku. Aku takut meminta lebih, takut memintanya untuk kembali dan memastikannya tak pergi lagi, takut bahwa dia belum memaafkanku. Namun dia menemaniku  tanpa suara dan aku sungguh bersyukur dan menikmati setiap kehadiran, aku kembali melakukan semua hal berdua dengannya. Tapi semuanya terasa sangat berbeda. Kadang-kadang  ia duduk di sampingku, namun aku merasa ia tak ada di sana. Dia bahkan menolak untuk kusentuh. Tak kutemukan lagi sisa-sisa dia yang dulu. Tak ada lagi tawa yang sama dan aku tak seberharga dulu lagi di matanya. Aku dan dia, hanyalah masa lalu yang dingin yang tak lagi bisa bersatu. Selama beberapa malam, aku menangisi hal yang sama. Tentang cinta yang datang terlambat. Tentang bagaimana aku tak sempat membahagiakannya dengan baik. Harapan-harapan ini tak cukup kuat untuk melawan kenyataan.



Sampai akhirnya luka ini semakin perih saat aku mendengar dari salah satu temanku bahwa dia terlihat berdua dengan perempuan lain. Aku menanyakannya langsung kepadanya kalau perempuan itu siapa, aku hanya ingin memastikan. Dia menjawab dengan tegas bahwa perempuan itu kekasihnya. Kekasihnya. Dulu, akulah yang diakui seperti itu kepada dunia. Aku ingin memastikan sekali lagi kenyataan buruk ini. Kuminta ia melihat mataku dan berkata bahwa dia sudah tak mencintaiku lagi. Aku tak ingin dia mengasihaniku. Jadilah ia berkata dengan sorot mata meminta maaf . Aku takut mendengar jawabannya.  “I can’t, Bil. I can’t hurt you. Tetapi aku lebih tak bisa lagi jika menyakitinya. I love her. Sorry” Dia bahkan mengucapkannya dengan mudah. Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Kuberi dia senyum termanis dan yang terpahit aku mengatakan seolah semudah itu juga aku mengikhlaskannya “It’s Okay”. I said. Dan dengan sisa kekuatanku aku beranjak pergi, aku bahkan tak menoleh saat dia memanggil namaku. Dia tak mengejarku. We never met again since. I really losing him.


Aku fikir aku adalah orang yang cukup pintar untuk menentukan kapan untuk mencintai  seseorang dan kapan waktunya mematikan rasa itu saat sudah tak diperlukan lagi. Tidak ada cerita happy ending. Seharusnya aku sudah tahu, bahwa dia memang sudah berubah. Hanya saja aku sulit merelakan. Sulit memberi tahu diri sendiri bahwa semua orang bisa berubah dan mau tidak mau aku harus menerimanya. Namun, yang menyakitkan ternyata bukan kenyataan bahwa aku harus melepaskan dia, tetapi mendengar dari mulutnya sendiri bahwa sebenarnya kami berdua bukan apa-apa. Dia sudah lama berhenti mencintaiku, sedangkan aku menyayanginya seperti tidak akan berakhir. Beribu pertanyaan memenuhi kepalaku. Satu yang aku tahu, mungkin aku memang tidak perlu tahu jawaban untuk setiap pertanyaan. Mungkin semua ini memang seharusnya begitu. You can meet someone who's just right, but he might not be meant for you. You break up, you lose things, you never feel the same again. But maybe you should stop questioning why. Maybe you should just accept it and move on. But, no one woke me up when September ends.

I'm affraid. Yeah, aku takut kalau lama-lama nyaman seperti ini. Bukan apa-apa, tapi maksudnya hanya karena hati yang belum sembuh, aku tidak bisa memaksakan diri untuk terbiasa hidup tanpa berbagi apapun kepada orang lain. Aku takut kalau nanti saatnya aku harus mencintai lagi, hatiku sudah terlanjur tertutup lalu semuanya terlambat kembali. You know what? Sometimes I wish I know it feels to be on the end of the part. Must be nice, punya keyakinan seperti itu, punya keberanian dan keteguhan untuk mencintai tanpa takaran. Kamu nggak perlu terus bertanya-tanya , apa yang kamu berikan udah cukup atau berlebihan, sejauh mana kamu menyayangi seseorang, dan apa balasan yang kamu terima udah setimpa. Karena untuk orang-orang yang mencintai dengan bebas, semua itu nggak penting. You don't think. You just do

Pada akhirnya hanya aku yang harus bertanggung jawab atas lukaku sendiri. Biarkan cinta membuat kisahnya sendiri, aku tak boleh melupakan hidup yang harus tetap berjalan. I remember, I let go, I moved on. But that still doesn't mean I don't miss him sometimes.

- Amanta Ayu, Sa

Minggu, 22 September 2013

Lelaki Musim Hujan


Untuk masa lalu,
Dan lelaki angkuh yang menyembunyikan dirinya diantara pelukan semua musim,

Apa kabarmu? Bukankah dulu aku selalu menanyakan kabarmu, setiap kali aku membaca buku-buku bodoh, dan meletakkan pembatas buku diantara halaman yang kubaca dan belum kubaca?
Sudah lama aku tidak mengukir pengakuan-pengakuan. Aku merasa berdosa menyembunyikan rasa bersalah
 
Aku tidak bisa menulis banyak. Maaf. 
Aku hanya ingin menyampaikan beberapa hal yang sering diceritakan oleh lampu kamarku setiap malam, sesaat sebelum memejam. Sedihnya, dinding-dinding kamar ikut bersekongkol, berceloteh perihal tentang lalu. 

Kamu ingat musim hujan yang kamu titipkan di mataku?
Kalau kamu berkenan, aku ingin mengembalikannya sekarang juga. Secepatnya. 
Dibalik kepengecutanku, aku adalah wanita yang berani mengubur bayanganmu hidup-hidup, kemudian melanjutkan kehidupan dan tidur nyenyak.
Aku kembalikan musim hujan di mataku yang selama ini memelukku bersama malam-malam yang terasa sangat panjang, menyedihkan, dan menciptakan neraka di atas permukaan bantalku yang selalu basah.

Aku sudah bosan dengan malam dan banjir bandang.
Malam dan banjir bandang bukan kombinasi yang baik untuk aku arungi dengan perahu dongeng-dongeng dan motivasi absurd dari motivator-motivator yang tidak mau disalahkan atas kebohongannya. Hidup tidak pernah semudah menangisimu di masa lalu. Memelihara musim hujan yang kamu titipkan di mataku sangat mudah. Aku biarkan saja detik berjalan dengan caranya, dan musim hujan yang kamu titipkan terus hidup dan menari-nari. 

Sekarang, iya, sekarang, aku kembalikan musim hujan yang telah lama kamu titipkan di mataku. 
Aku tidak mengerti mana yang harus aku pilih antara permintaan maaf dan ucapan terima kasih. 

Hey, 
Aku menemukan seorang lelaki yang begitu istimewa, yang membuatku merasa menjadi manusia seutuhnya hanya dengan sebongkah senyuman. Senyumannya begitu magis dan meneduhkan. 

Maka, aku kembalikan musim hujanmu. Karena sekarang ada seorang lelaki yang menitipkan musim yang lebih menyenangkan. Aku belum bisa menebak musim apa, tapi aku merasa ada getar kesimpulan awal bahwa musim yang dia titipkan adalah musim 'selamanya'.

Time flows, everybody changes..
Aku sudah lama tidak mengamati perubahan-perubahan apa yang terjadi pada dirimu hampir setahun terakhir.

Maka, aku yakin kalau aku kembalikan musim hujan yang kamu titipkan di mataku, itu juga sebagian dari targetmu. Kamu lelaki penuh perhitungan yang menyebalkan. Sangat menyebalkan. 

Sekarang, aku bahagia dengan 'lelaki musim selamanya'. Kamu bisa mendapatkan seribu wanita impian, tapi hanya sedikit yang membawa kebahagiaan bersama pelukannya.

Kapan-kapan aku sambung lagi dengan cerita perihal lelaki musim selamanya. Sekarang aku harus pergi, banyak yang harus aku kerjakan

Aku melarangmu mengembalikan doa-doa yang aku titipkan kepadamu. Biarkan mereka menyertaimu. Terima kasih untuk musim hujanmu.
- Amanta Ayu, Sa

Senin, 08 Juli 2013

Mengapa Suka Langit?

Mengapa saya suka langit?
 
Mungkin karena mereka luas, mereka tak berbatas. Setiap kali saya merasa dunia menghimpit saya, langit selalu memberikan sebagian wilayahnya untuk saya melepas hela. Langit tidak memiliki garis yang bisa mengkotak-kotakkan dunia ini. Dari mereka saya belajar untuk tidak lagi membandingkan bahagia dan kecewa. Karena mereka tak se-banding.

Mengapa saya suka langit?

Seperti layaknya dunia ini rumah, langit adalah atap. Pertemuan segala musim. Wajah dari setiap keluarga. Jika tembok bisa membuatmu merasa aman, atap selalu membuatmu merasa nyaman. Langit, memberi saya rasa ‘nyaman’ setiap kali saya menengadah padanya.

Mengapa saya suka langit?

Mungkin karena segala bintang, matahari juga pelangi bernaung di antaranya. Langit, seperti ibu bagi dunia. Birunya mereka selalu mampu melautkan semesta. Dimana banyak impian berenang-renang. Tepiannya bukan tujuan, karena ini bukan tentang hasil, tapi tentang keberanian untuk berharap.

Mengapa saya suka langit?

Memperhatikan bagaimana wajah awan-awan dan mencoba menerka bentuknya adalah pekerjaan yang begitu membahagiakan. Dari langit saya belajar, bahwa tidak pernah ada musim yang tidak berganti. Tidak pernah ada hari yang tidak bisa dilewati. Tidak ada awan yang tidak bergerak, akan ada waktunya mereka berarak dan meninggalkan pandanganmu. Seperti itu lah hidup memperlakukanmu. Akan ada yang datang, dan akan ada selalu yang harus pergi.

Mengapa saya suka langit?
Haruskah ada alasan untuk menyukainya?

Terkadang, kita tidak perlu alasan untuk menyukai hal yang sudah ‘jelas’. 

Mempertanyakannya, hanya akan mengusik keindahannya..
- Amanta Ayu, Sa

Jumat, 05 Juli 2013

Ini Baru Secuil, Dari Kue Kehidupan.


Tentu saja, siapa pun boleh terlahir cantik atau pun tampan. Siapa pun boleh terlahir sebagai seorang putri atau pun pangeran. Tak ada seorang pun yang sanggup memilih ‘awal’ dari dirinya. Begitu pun ‘akhir’ dari kehidupannya. Tapi, Tuhan memberi kita kebebasan untuk ‘bagaimana’ menjalaninya. Sehingga kita pun bisa merangkai ‘akhir’ dari diri kita. Kita, manusia, diberi begitu banyak hal yang tidak Tuhan berikan kepada makhluk lainnya.

Begitu banyak yang diberikan, begitu banyak yang dituntut. Bisakah kalian mengingat seberapa banyak jumlah serapah yang pernah terucap dari bibir yang paling sering mengingkari? Tidak mungkin dapat. Aku pun bahkan mulai menghkawatirkan limitnya.

Hari ini kau benci matahari yang terlalu bersemangat menyinari, dan beberapa menit kemudian kau benci hujan yang jatuh terlalu deras. Detik yang lalu kau benci keringat yang membanjiri tubuhmu, detik ini kau benci dingin tanpa sweatermu yang tertinggal.

Kau menyerapah setiap hal yang berjalan tidak seperti yang kau inginkan. Kau berteriak ‘Kenapa harus aku?’ untuk sesuatu buruk yang terjadi. Kau, dengan keikut sertaanku di dalamnya. Bagaimana lagi, Tuhan harus bersabar pada manusia? Itu, baru contoh kecil. Kita belum membicarakan raja yang ingkari rakyatnya. Kita belum membahas wakil rakyat yang mengabaikan konstituennya. 

Ini baru secuil. Dari kue kehidupan. Kau memakannya, kita semua memakannya. Tapi tidak menyisakan potongan untuk Tuhan yang telah memanggangnya untuk kita. 

- Amanta Ayu, Sa

Minggu, 30 Juni 2013

Berfikir..


Saya tidak pernah mengerti, kenapa kita harus mengerjakan sesuatu yang tampak keren di mata orang lain, tapi kita merasa tersiksa saat menjalaninya. Mengeluh tentang seberapa kita membenci hal tersebut, tapi di sisi yang lain tetap bertahan melakukannya.

Saya tidak pernah mengerti, kenapa masa lalu seseorang selalu menjadi penting saat kita mencintai seseorang. Mengeluh tentang banyak kelemahan yang dia miliki, tapi di sisi lain tak pernah bisa berhenti merindukannya. 

Saya tidak pernah mengerti, kenapa status sosial selalu menjadi penting saat kita telah nyaman berteman dengan seseorang. Merasa malu tentang bagaimana orang lain di sekitar kita menilai mereka, tapi di sisi lain kita selalu tahu bahwa dia tidaklah seburuk itu.

Saya tidak pernah mengerti, kenapa memberi sesuatu pada seseorang yang kita sayang itu dianggap merugikan. Mengumpat ketika akhirnya orang tersebut pergi meninggalkan kita dengan mudahnya. Sedang di sisi lain, kita tahu bahwa kita pernah merasa bahagia karena bisa melihat senyumnya saja. 

Saya tidak pernah mengerti, kenapa mereka yang punya mimpi besar selalu merasa lebih keren dari seseorang yang lebih suka menjalani hidupnya tanpa terikat akan hal-hal yang berbau kesempurnaan. Mengatakan bahwa ‘mereka yang tak punya mimpi, adalah mereka yang tak cukup berani’. Sedang di sisi lain mereka tahu, bahwa mereka memilih mimpi yang ‘besar dan hebat’, hanya karena mereka pun takut dipandang lemah. 

Saya tidak pernah mengerti. 

Mungkin ada baiknya seperti ini. 

Karena mereka yang terlalu banyak perhitungan dalam hidup. Justru terkadang tak pernah punya waktu menikmati hal-hal kecil yang terjadi di hadapan mereka saat ini. Dan dengan mudahnya melepaskan orang-orang yang paling berarti untuk mereka. 

Merasa lebih kuat dari pada yang lain, adalah kelemahan termudah yang bisa kita jalani dalam hidup ini. 

Merasa lebih benar dari yang lain, adalah kesalahan yang dilakukan oleh manusia mana pun. Tak terkecuali saya.

- Amanta Ayu, Sa

Rabu, 12 Juni 2013

Apa Kabar?



Halo, Kamu. Apa Kabar?

Sudah lama aku (sengaja) tak menyapa. Selain karena aku tak ingin kamu tahu dan menilaiku tak tahu malu, aku juga enggan mendapat kabar tak benar tentang sesiapa yang sebenarnya kutuju dari seluruh surat tanpa alamat yang pernah kutuliskan. Hingga setelah sekian lama aku coba bungkam, menyimpanmu hanya dalam doa-doaku, tiba-tiba malam ini aku merasa tak sanggup lagi menahan. Apa kabar?

Mungkin hanya kebetulan, lagu-lagu yang baru saja kudengarkan mengingatkan banyak hal tentang menunggu, tentang kamu, tentang segala hal yang tetap membisu meski semesta telah tahu. Mungkin juga kondisiku yang sedang tak menentu, mendengar banyak cerita di sekitarku, tentang rasa itu, yang sesekali masih meminta porsinya untuk sedikit kuperhatikan.

Tidak benar jika dikata aku tak berusaha melupakan. Tidak benar jika dijelaskan bahwa aku tak mampu berjalan maju. Tidak tepat juga jika ada yang mengucapkan bahwa aku terpaku pada masa lalu. Sungguh, aku sedang membangun pondasiku kuat-kuat di sini. Untuk menjadi tangguh. Hanya, belum bisa utuh.

Kuakui, sesekali aku masih tersipu mengingat senyumanmu—yang hanya dua kali itu. Kuakui, sesekali masih terselip rindu di semburat langit biru—warna yang kuberikan untukmu. Kuakui, sesekali masih kutulis namamu di sela kebosananku—untuk menjadi penyemangatku. Kuakui, sesekali masih kusimpan kamu sebagai bunga tidurku—kuingat selalu meski telah lama berlalu.

Ah, sudah. Malam ini aku hanya ingin menyapa. Apa kabarmu?

Selalu, kumohonkan yang terbaik untukmu.
  
- Amanta Ayu, Sa

Rabu, 22 Mei 2013

Pernahkah


Pernahkah, ketika kamu melakukan perjalanan jauh, yang sekelilingnya penuh pohon atau bukit berbatu, lalu kamu membayangkan bagaimana rasanya seandainya perjalanan itu kamu tempuh bersamaku?

Pernahkah, ketika sedang makan malam bersama temanmu, dengan suasana alam dan penerangan ringan, lalu kamu membayangkan seandainya di depanmu adalah aku?

Pernahkah, ketika kamu bangun dari tidur lelahmu, melihat ke samping, dan berandai kalau aku mengecup keningmu dan mengucapkan selamat pagi? Lalu kita berdua tersenyum, begitu terus setiap hari?

Pernahkah, ketika kamu sedang di tempat yang indah, pantai atau air terjun atau apa pun itu, kamu berpikir kalau saja kita di sana, bergandengan tangan, tertawa, saling mencuri pandang, dan merasakan perasaan paling nyaman?

Aku ... pernah.

- Amanta Ayu, Sa