Ceritanya aku sedikit bercerita, tentang dua puluh hari yang menyenangkan, sekaligus sedikit menyesatkan.
Hari-hari pertama dalam dua puluh hari itu, aku merasakan siklus perasaan antara panik, marah, bosan, dan bahagia. Rindu? Tidak sama sekali. Beruntungnya, para pembunuh waktu datang dengan sendirinya.
Buatku, para pembunuh waktu itu datang tepat waktu. Dengan itu aku sanggup menuangkan apa yang selama ini hanya aku simpan. Tenaga, dan pikiran. Dengan itu pula aku sanggup menghabiskan waktu, dan sayangnya juga uang.
Bahagia lalu tumbuh menyeruak. Seakan aku yang pernah ada kembali lagi, bebas dan untuk siapa saja. Semua waktu rasanya ingin kuraup kuhabiskan sendiri, atau untuk mereka yang hanya sekali-sekali ada.
Dan juga untuk dia yang secara kebetulan hadir.
Entah nampak, atau memang sudah tersiar kabar di luar sana yang aku bahkan tak pedulikan, rasanya orang-orang yang biasa kutemui seperti menyembunyikan suatu ucapan atau cerita. Entah.
Hari-hari berikutnya dalam dua puluh hari itu sama sekali tak aku rasakan sesuatu yang biasa ada dalam teori orang-orang dalam siklus seperti ini; hampa.
Lagipula, untuk apa aku merasakan hampa, kalau memang aku yang menginginkan siklus ini?
Segala bentuk kebebasan lalu aku lakukan. Segala yang berhubungan denganmu aku simpan, kalau perlu aku buang. Melupakan? Tidak, aku hanya memaafkan. Melupakan bagiku jauh lebih sukar daripada hanya memaafkan, dan akhirnya menyilakan kamu keluar dan juga senang sendiri.
Akhir November, yang juga berarti menjelang Desember.
Segala rencana ada untuk hari ketujuh.
Tapi tiba-tiba bubar.
Kesal? Iya. Tapi lalu untuk apa, toh bukan salah siapapun.
Empat hari kemudian kamu datang lagi, membawa beribu rindu yang memang selalu tersimpan, pun aku.
Masa yang menyenangkan, secara otomatis harus disimpan saja, juga cerita-cerita dan yang andil di dalamnya. Aku pikir-pikir, aku tak ubahnya jadi subyek pelarian belaka menembus aku yang sudah lama ditinggalkan.
Denganmu memulai lagi dari awal, dan mungkin inilah yang aku terima sebagai konsep restart yang seharusnya.
Semoga, ya, semoga, semua ini, dua puluh hariku dan dua puluh harimu, memang sebuah proses untuk duapuluhmasa dan seterusnya untuk kita.
- Amanta Ayu, Sa