Dalam gelap, aku tak bisa melihat sebiru apa langit itu.
Aku terlalu nyaman dengan rahasia ini. Aku menyelipkan perasaanku di antara keseharianku. Aku memilih sendiri. Menyepi. Membenci diri yang tak bisa jujur padamu.
Sesungguhnya, aku tak tahan lagi. Semakin besar kurasa jarak di antara kita. Kau semakin sulit kuraih—dengan atau tanpa sunyi di bibirku ini. Dan aku mulai bosan dengan gelap. Jenuh dengan segala rahasia.
Karenanya, hari ini, kuputuskan untuk berterus terang padamu. Bertanya dengan segenap tetes keberanianku, “Maukah bersamaku menikmati birunya langit hari ini?
---------
Bagaimana caraku menatapmu, memandangmu lurus-lurus tanpa rasa bersalah? Karena setiap kali aku berhadap-hadapan denganmu, berusaha bereaksi atas senyuman tulusmu, aku seketika menundukkan kepala. Saat melihatmu, aku melihat dirinya.
Cinta memang bukan sesuatu yang bisa dipermainkan, dan sayangnya, aku baru menyadari ketika benar-benar terperosok ke dalamnya. Seperti pasir isap, sulit bagiku untuk keluar dari segitiga ini.
Ada tiga sisi di cinta ini, ada tiga perasaan yang tengah dipertaruhkan.
Tak seharusnya ini terjadi, aku tahu itu. Tapi, kau dan dia bagaikan air dan udara—bagaimana bisa aku memilih hidup dengan salah satunya saja?
----------
Aku punya cerita.
Tentang seseorang yang menghabiskan separuh hidupnya mencari cinta. Menelusuri ke segala arah, bertanya ke semua orang. Dan, pada suatu masa, orang itu mulai merasa lelah. Mulai pesimis. Apakah semustahil itu cinta hadir untuk dirinya?
Saat itulah cinta datang. Sungguh-sungguh menghampirinya, benar-benar berdiri di hadapannya. Namun, tahukah kau apa yang dia lakukan kemudian? Berjalan menjauh. Dan, melanjutkan pencariannya lagi.
Aku punya cerita.
Tentang orang yang terlalu banyak berharap. Tentang sebuah kekeraskepalaan. Tentang aku dan lelakiku. Tentang cerita yang tak kunjung lengkap.
-----------
Kau adalah hangat. Padamu aku temukan dunia yang ramai dan selalu bahagia. Kau adalah rumah. Tempat aku menitipkan tawa kanak-kanakku, juga menyimpan mimpi tentang sebuah masa depan.
Suatu hari, mungkin rumahku tidak lagi kau. Tidak bisa dan tidak mungkin. Kau hanyalah rumah tempat aku menyimpan berpuluh-puluh frame yang tidak akan lapuk karena waktu. Tempat aku selalu kembali meski mungkin kau tidak lagi berada di sana.
Kau datang menjelma sepi. Lalu, pergi meninggalkanku dalam gigil. Gadis polos dalam kamuflase musim semi, aku membencimu. Tak ada kau dan aku dalam cerita masa depan. Itulah mengapa aku memilih menjauh.
Namun, kau tahu, hingga mana pun jauh mengantar langkahku, ternyata tak pernah ada yang menamai rindu milikku, sesempurna kau menamainya. Dan, membuatnya akan selalu menjadi milikmu.
-------------
Aku berharap tak pernah bertemu denganmu.
Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku.
Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.
Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu.
Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.
Tapi...
kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti
apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa.
Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai...
dan dicintai sosok seindah dirimu.