Jumat, 10 Agustus 2012

Aku Akan Ada Disini




“Mati, bukan caraku untuk meninggalkanmu. Tapi, untuk menjadi abadi bersamamu” 


Pernahkah kau berpikir, untuk mengingatku? Pernahkah engkau mengenang kisah-kisah manis kita berdua, hingga segalanya tertutup waktu? Hingga engkau melupakan wajahku?

Aku mengintipmu dari kejauhan, yang mungkin tak akan pernah terbayangkan olehmu. Duduk di sebuah kursi yang berada jauh dari panggung tempat engkau berdiri seraya menyaksikan engkau dengan setelan jas hitam rapi sedang memetik gitarmu dengan merdu. Aku merindukan setiap nada yang teralun dalam setiap baitnya. Kau dahulu menyanyikannya untukku, apakah kau tidak pernah mengingat itu? Mengingat kenangan kita beberapa tahun yang lalu. Kau ceritakan semua mimpimu padaku, kau berikan semua harapanmu padaku, kau bagikan citamu padaku, berangan-angan kita meraihnya bersama, apakah kau masih mengingatnya?

Kisah masa lalu kita untuk mengejar mimpi bersama. Aku masih mengingatnya dengan jelas, saat engkau menggenggam tanganku, bukankah itu adalah masa yang sangat manis? Sangat tak terlupakan untuk kita berdua? Apakah kau tak pernah berpikir untuk mengingatku lagi?

Suara riuh rendah tepuk tangan penonton menyadarkan lamunanku. Wajahmu yang tersenyum puas dan masih saja menunjukan kehangatan itu menatap seluruh penonton kemudian kau membungkukan badanmu, memberi salam hormat kepada seluruh penonton.

Aku masih ingat pada ekspresi wajah ini, terekam jelas di ingatanku. Seperti foto yang bertebaran di setiap sudut memoriku. Saat itu tanganmu dingin dan wajahmu pucat. Itu pertunjukan pertamamu. Kau berkali-kali ingin mengundurkan diri. Aku masih terkenang saat engkau merunduk di hari sebelum engkau mengikuti kontes musik itu, kamu menatap ujung sepatumu yang bergerak-gerak sejak tadi sambil berkata, “Lebih baik aku tidak ikut dalam kontes ini, aku tidak berbakat.”

Aku menggelengkan kepalaku, menangkupkan kedua tanganku pada dagumu, mata polosmu yang berwarna cokelat kehitaman bertemu dengan mataku. Baru kali ini aku memiliki keberanian, keberanian untuk menatap matamu, “Kamu pasti bisa, aku tau kamu pasti bisa.”

Kau masih terus menggeleng, tanganmu meraih kedua pergelangan tanganku melepaskan tanganku dari wajahmu. Kulitku dapat merasakan dinginnya telapak tanganmu itu dan setiap getaran ketakutan serta keraguan yang timbul. “Aku takut,” Ucapmu lirih. “Jika aku menang nanti, haruskah aku meninggalkan kamu ke Inggris?”

Aku melihat keraguan di wajahmu, ketakutan di kedua bola matamu itu. Aku tau, kau bisa melakukannya. Kurentangkan tanganku untuk memelukmu dan berjinjit seraya berbisik, “Aku akan ada bersamamu,selalu.. aku akan melihatmu, aku pasti akan datang ke kontes itu nanti, aku berjanji. Aku juga akan ada untukmu, selalu dan selalu.”

Kau meraih tubuhku, dan mengecup keningku. “Kamu ingin keliling dunia kan? Aku akan mewujudkannya. Aku berjanji, kita akan berkeliling dunia bersama. Aku yang akan membawamu mengelilinginya.”

Itu adalah saat yang tak akan pernah aku lupakan. Malam itu, adalah malam terakhir aku melihat senyum di wajahmu saat dirimu bertatapan denganku.

Aku ingat hari sesudah itu. Seperti film yang terulang kembali dalam kepalaku. Saat beberapa jam setelah kau berkata, “Sampai jumpa.” Matahari siang itu tak begitu terik, gumpalan awan putih menghalangi sinarnya sehingga suasana nampak hangat. Dengan gaun terbaikku, aku sekali lagi mematut di hadapan cermin berbentuk persegi panjang. Aku tak ingin melewatkan harimu, kontes yang akan mengubah seluruh hidupmu.

Aku mengendarai sebuah mobil sedan berwarna merah metalik hadiah ulang tahunku yang ketujuhbelas dari orangtuaku. Namun keadaan di jalan tak semulus awalnya. Segerombolan massa mengamuk, aku dapat melihatnya dari kaca jendelaku. Ban-ban terbakar, segerombolan orang sedang memukuli orang lain. Seolah langit yang cerah ini tampak menjadi gelap.

Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan rendah, berharap aku tak akan seperti yang lain. Namun saat itu, mau tak mau mobilku kurem mendadak saat menatap beberapa gerombol orang menghadangku.

Aku mulai tak ingat yang terjadi kala itu. Aku cuma mengingat ketika ponselku berbunyi dan aku melihat namamu tertera di layar. Aku mencoba untuk mengangkat telepon darimu, tetapi terlambat. Kaca jendela mobilku di rusak dan aku dipaksa keluar. Aku tak pernah ingat apapun lagi setelah itu. Aku bahkan tidak pernah ingat lagi yang terjadi dalam hidupku. Saat aku tersadar, aku sedang melayang di langit biru. Aku berusaha turun ke tanah dan berlari cepat.

Tak seperti tadi, seolah tak ada yang memperhatikanku kali ini. Aku tak peduli dengan apapun, aku hanya ingin melihatmu, memberikanmu dukungan setulus hatiku. Namun acaramu telah usai atau mungkin tak pernah ada. Kulihat bangku-bangku berserakan. Alat-alat musik yang rusak, keadaan gedung yang tak lazim. Di manakah engkau?

Pernahkah kau berpikir, aku sanggup menunggumu hingga detik ini? Ya, aku menunggumu, di gedung itu. Gedung tempat kita akan bertemu, gedung tempat kita berjanji dahulu, Sayang. Tahun-tahun kulewati, hingga kini ku temui dirimu sekali lagi.

Aku bertepuk tangan setiap lagumu selesai, rasanya mataku akan mengeluarkan air mata, tetapi tak satu pun air mata yang keluar. Hanya rasa rindu, hanya rasa ingin memelukmu yang begitu dalam kurasakan hingga menghujam jantungku. Dengan satu hentakan, tirai merah itu tertutup. Kemudian, para konglomerat dan pejabat-pejabat pulang dengan senyum yang merekah, puas dengan pertunjukanmu. Sadarkah kau bahwa permainanmu itu dapat membius semua orang dan wajahmu dapat membius seluruh kaum hawa? Termasuk aku, ya termasuk aku.

Hei, apakah kau masih mengingatku? Apakah kau masih mengenangku? Apakah kau tak melupakanku? Aku menginginkanmu sekali lagi, di dalam hidupku. Tetapi aku sadar, aku tak mungkin bersamamu, aku tak bisa menginginkanmu, karena aku tak memiliki kehidupan lagi selayaknya dirimu kini.

Noel Ulrich

Tepuk tangan penonton membuat aku terkesima. Aku sudah lama tak kembali ke negara asalku. Tempat aku dilahirkan, tempat aku dibesarkan dan tempat aku bertemu dengan cinta pertamaku.

Ah, dia. Kemana ia kini? Aku telah mencarinya selama belasan tahun. Belajar musik hanya bisa memenuhi janjiku. Tapi nyatanya, belasan tahun aku berkelana dan berkunjung ke seluruh dunia hanya sendiri, tanpa dirinya.

Setelah insiden yang terjadi beberapa belas tahun yang lalu, aku dan seluruh keluargaku pindah ke sebuah kota di Australia. Aku masih ingat waktu kejadian itu berlangsung, aku memberontak dan memaksa bertemu dengannya. Kedua orangtuaku memaksaku untuk ikut, tetapi aku tidak mau. Aku ingin ia bersamaku. Aku hanya ingin dia selalu ada di sampingku.

Aku ingat, saat aku berusaha kabur dan mengunjungi rumahnya. Namun aku tak bisa. Aku melihat rumahnya menjadi abu. Habis tak bersisa. Ia pun tak ada di tempat. Dia di mana? Ayah dan Ibuku telah menenangkanku, berkata bahwa mungkin ia juga sudah pergi ke tempat lain untuk berlindung. Tetapi aku percaya, ia akan menungguku.

Aku mencoba menghubunginya berulang kali, aku mencoba bertemu dengannya, mencoba mengajaknya ikut bersamaku. Namun telepon selulernya tak dapat kuhubungi. Hingga akhirnya aku mau tak mau harus meninggalkan kisah ini begitu saja.

Tetapi bukan berarti aku benar-benar menginggalkan kisah kami begitu saja. Aku tau suatu hari kami pasti bertemu. Ia pasti akan ada lagi di sini. Ia pasti tak akan jauh dariku.

Aku berjalan perlahan menuju ruang ganti di belakang panggung. Semua kru menyelamatiku, mengatakan aku musisi hebat dan berbakat. Tetapi semua pujian itu tak akan sama dengan pujian darinya. Aku masih dapat mendeskripsikannya dengan jelas, saat itu hari pertama kami masuk sekolah dan ia adalah adik kelasku. Saat itu sudah jam pulang sekolah dan aku secara sembunyi-sembunyi menuju aula di sekolah untuk bermain gitar.

Jujur, aku menyukai musik. Hanya saja, banyak teman-temanku beranggapan bahwa musik hanyalah untuk laki-laki yang kutu buku. Walaupun aku menentang hal itu, namun aku tetap tak bisa menunjukan bahwa aku menyukai musik.

Hingga pada suatu hari, saat siang itu aku sedang duduk dan memainkan nada, seorang anak perempuan tiba-tiba datang sambil bertepuk tangan, “Wah, hebat sekali.. Boleh tidak kamu mengajari aku?”

Wajahnya yang polos dengan ekspresi kekagumannya. Aku tak dapat menjelaskannya dengan kata-kata. Aku yang selalu mengikat diriku dengan berorientasi pada prestasi, kini melihat hal yang berbeda.

“Boleh, asal kamu tidak membocorkannya pada orang lain.” Ucapku.

“Loh? Ini kan bakat, kenapa tidak boleh?”

“Pokoknya tidak boleh ya tidak boleh!” Teriakku dengan suara tinggi.

Wajah gadis itu kemudian terlihat takut. Aku sempat merasa bersalah untuk itu. “Maaf,” Ucapku kemudian.

Dia tersenyum, “Tidak apa-apa, jika memang kamu tidak ingin aku membeberkannya juga, aku tidak akan membeberkannya. Itu hakmu dan privasimu.”

“Terimakasih..” Ucapku, “Ke mari, biar aku ajari.”

Ah.. Betapa aku merindukannya, merindukan nafasnya yang hangat ataupun tangannya yang lembut.

Aku duduk di sebuah kursi di ruanganku. Mengambil sebuah foto kenangan kami berdua. Foto itu terlihat kekuningan tetapi wajah manisnya tetap tak tergantikan untukku. Foto di hari ulang tahunnya, ia dengan sebuah gaun hitam sementara aku dengan setelan jas berdiri di sampingnya seraya memeluk pinggangnya yang ramping.

“Foto siapa itu, Noel?” Suara seseorang yang tak lain adalah ayahku membuyarkan lamunanku dan seisi anganku.

Aku menarik nafas panjang. “Ini, Foto Kayra,” Ucapku menunjukan foto itu


Kayra Tanuwidjaja

Aku mengikutimu hingga ke belakang panggung. Hari ini akan jadi hari terakhirku di sini, untuk melihatmu. Aku ingin melihatmu lebih dekat, meskipun engkau tak akan pernah bisa melihatku. Aku melihatmu tengah duduk di atas sebuah kursi bundar, seorang pria berkacamata menghampiri dirimu. Nampaknya ia adalah ayahmu. Aku pernah melihatnya di foto waktu itu. Bagaimana kabarmu dan ayahmu? Aku masih ingat saat kau bertengkar dengannya. Saat itu kau selalu saja mengomel-ngomel dengan kata-kata yang tidak jelas.

Apakah kalian sudah berbaikan? Aku harap kamu akan baik-baik saja.

“Ini, foto Kayra.”

Aku melonjak ketika namaku keluar dari mulutmu. Ya, terucap dengan jelas dari bibirmu itu.

“Kayra?” Tanya pria itu tak percaya, matanya menunjukan kegeraman yang luar biasa, “Sudah berapa kali Ayah katakan kepadamu, lupakan Kayra, kau harus menikah dengan Ernest, kau tau itu kan?”

“Tapi, Ayah…” Ucapnya terbata, “Aku mencintai Kayra, aku masih mencintainya.”

“Kayra itu sudah mati! Kau tau itu..!”

Aku mengejang, tubuhku kemudian tersungkur. Aku telah mati, ya.. aku telah meninggal. Kini sudah jelas semua. Alasan mengapa kamu tak dapat melihatku. Alasan aku tak mungkin dapat bersatu denganmu. Tetapi di tengah kemelut itu, aku tersenyum, kau masih mencintaiku, dan aku masih mencintaiku.

Suara menggelegar terdengar, aku tau dengan pasti kini waktuku sudah habis, karena aku telah mengetahui semuanya tentang keadaanku kini. Lonceng berdentang, tubuhku tertarik dengan hebat. Aku menoleh, sekali lagi menatap wajahmu. Dengar aku, kasih. Aku akan selalu di sini dan akan menemanimu di dalam hatimu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar